Berita Bola,- Lebih dari satu abad berlalu sejak Roberto di Matteo hampir berhasil membawa Chelsea masuk semifinal Liga Champions. Pada musim ini, sosok asal Italia itu kembali bertemu sosok yang menghadangnya 12 tahun silam, Pep Guardiola.
Sekitar tujuh menit lagi pertandingan di Camp Nou, leg kedua perempat final Liga Champions 1999/2000 berakhir. Sekitar 80.000 penonton yang hadir di stadion gelisah menyaksikan jalannya pertandingan. Sebab tim kesayangan mereka hampir disingkirkan tim tamu Chelsea. Bagi tim yang menjalani debut di Liga Champions, setelah dilarang Football Association tampil di pentas paling bergengsi antar-klub Eropa itu pada 1995, bagi The Blues momen ini jelas membanggakan.
Namun, Anders Frisk memberikan tendangan bebas di sisi kanan. Majulah Guardiola yang ketika itu menjabat kapten Barcelona. Dia mengirim bola berbahaya ke daerah berbahaya. Umpan yang tidak disia-siakan Dani Garcia untuk menyamakan kedudukan menjadi imbang 4-4. Beberapa saat berselang, kiper Barcelona Ruud Hesp harus kerja ekstra keras demi menghalau tendangan gelandang Chelsea yang berusaha membantu klubnya balik memimpin.
Hesp berhasil membelokkan bola supaya Chelsea hanya mendapat sepak pojok. Punggawa tim tamu yang menembak itu adalah Di Matteo. Setelah itu, pertandingan memasuki perpanjangan waktu. Momentum berada di pihak tuan rumah yang sukses menciptakan dua gol lagi. Rivaldo mengeksekusi penalti menyusul pelanggaran Celestine Babayaro ke Luis Figo.
Pesta kemenangan Barcelona lalu ditutup kontribusi Patrick Kluivert. Sebuah pertandingan dramatis. Namun, barangkali tidak ada yang sadar kalau laga itu mengawali rivalitas yang berlangsung sampai sekarang. Sebuah perseteruan penuh kontroversi dan insiden, mulai tuduhan Jose Mourinho yang memaksa Frisk pensiun sampai amarah Didier Drogba di depan kamera televisi akibat kepemimpinan Tom Henning Ovrebo.
Chelsea dan Barcelona sudah bertemu delapan kali sejak laga di Camp Nou pada awal milenium. Banyak yang berubah dari duel itu. Pada 2000, Chelsea sedang memasuki periode kebangkitan. Mereka mulai memenangkan gelar demi menarik minat miliuner Roman Abramovich. Sebaliknya, Barcelona di ambang keruntuhan setelah Louis van Gaal sempat memberi prestasi. Pada 1999/2000, mereka disingkirkan Valencia di semifinal Liga Champions, merelakan gelar Primera Liga ke Deportivo la Coruna dan menjual Figo ke Real Madrid.
Setahun kemudian, Guardiola ikut hengkang dan menjajal Serie A bersama Brescia. Tulang punggung tim pun berpindah ke para pemain muda, di antaranya Carles Puyol dan Xavi Hernandez. El Azulgrana baru bisa menjuarai liga lagi pada 2005. Puyol dan Hernandez sudah matang berkat Frank Rijkaard.
Meski begitu, harus diakui kesuksesan Barcelona menahbiskan diri sebagai klub terbaik dunia dicapai ketika Guardiola kembali ke Camp Nou pada 2007 untuk menangani tim junior. Baru setahun bekerja, Guardiola dipromosikan ke tim utama. Dia langsung menyingkirkan Ronaldinho dan Deco agar permainan tim bisa berjalan benar-benar sesuai keinginannya. Hasil kerjanya terlihat sampai sekarang.
Pada tahun yang sama, Di Matteo juga memulai kariernya di kursi pelatih. Reputasinya menanjak menyusul periode di Milton Keynes Dons, West Bromwich Albion dan akhirnya Chelsea. Kini takdir mempertemukan keduanya di Liga Champions, bedanya demi satu tempat di final. Mampukah Di Matteo kali ini menunjukkan dirinya lebih baik daripada Guardiola, atau justru sebaliknya ?
Baca Berita Lainnya :