Saya juga tidak punya favorit juara dalam kompetisi-kompetisi tersebut. Tapi, saya selalu menyukai gemuruhnya total voetbal Belanda, indahnya tiki-taka Spanyol, dan tarian Samba Portugal, rapatnya gerendel Italia, efektifnya mesin sepak bola Jerman yang tentu lebih indah dibandingkan deru mesin Eropa Timur, cepatnya tendang dan lari Inggris (walaupun sudah mulai ditinggalkan), dan nasib baik yang sering kali menyertai tim-tim medioker seperti Yunani dan Swedia serta dahsyatnya ledakan dinamit Denmark.
Saya juga tidak akan membenci Cristiano Ronaldo ketika harus melawan Wesley Sneijder atau Andrea Pirlo ketika harus bertemu Wayne Rooney, karena saya akan menikmati permainannya.
Mengikuti Piala Eropa kali ini tentu berbeda dengan Piala Eropa sebelumnya. Sebab, berlangsung di tengah krisis perekonomian Eropa yang kita tidak tahu kapan akan berakhir. Terkadang, keunikan tersendiri menganologikan permainan mereka dengan krisis perekonomian yang mereka sedang hadapi.
Ketika Giorgos Karagounis melepaskan tendangan kaki kiri keras ke gawang Rusia dan membuahkan gol, hampir sebagian besar penonton masih belum yakin apakah Yunani akan terus lanjut ke babak berikutnya. Tapi, seketika setelah wasit meniupkan peluit panjangnya, bayangan tim juara Eropa 2004 itu kembali menghinggapi para pemain Yunani seolah melupakan bahwa mereka ada di ambang berpisah dari kawasan Uni Eropa karena krisis utangnya yang akut dan dalam.
Selain Yunani, kita tahu negara yang selama lima tahun terakhir malang melintang di panggung sepak bola dunia adalah Spanyol. Tentunya, penampilan yang sangat khas dengan penguasaan bola dan pengaruh tiki-taka dalam permainannya, sihir Spanyol terbukti membuat Prancis frustrasi di perempat final. Asa Spanyol untuk melanjutkan supremasinya sebagai juara Piala Dunia dan Piala Eropa terdahulu sudah sedemikian besar, bahkan mengalahkan ketakutan mereka akan bangkrutnya sistem perbankan yang sudah ada di depan mata.
Italia menjawab keraguan penonton dengan hasil nyata, Inggris dihantamnya di perempat final dengan sebuah permainan menyerang. Semua orang membicarakan cara Pirlo dalam melesakkan bola dalam drama adu penalti. Mereka hampir lupa bahwa sebagai negara ketiga pengutang terbesar di dunia, ancaman krisis Yunani dan Spanyol akan sampai ke negara mereka segera.
Inilah tiga tim yang menjadi pembicaraan di Piala Eropa yang kebetulan memiliki kesamaan, sama-sama dililit krisis bersama-sama Republik Irlandia, Portugal, dan beberapa negara Eropa lainnya. Inilah sesungguhnya Piala Eropa yang memberikan stage parade buat para pesakitan. Piala Eropa yang ingar-bingar, tapi ironisnya sebagian pesertanya tertatih-tatih secara ekonomis.
Lihatlah indikator negara-negara seperti Spanyol, Italia, Reo Irlandia, dan Portugal. Imbal hasil obligasi mereka untuk tenor 10 tahun yang sering kali dijadikan indikator risiko sebuah negara telah menyeruak naik, beberapa di antaranya mengalami tingkat tertinggi sepanjang sejarah. Spanyol, misalnya, mencatat hampir 7%, bandingkan dengan Indonesia yang berada di kisaran 5%.
Italia menjadi salah satu debitor terbesar di Eropa bahkan utang Pemerintah Yunani telah melambung jauh mendekati dua kali dari GDP negara tersebut. Hanya dalam waktu lima tahun, utang Rep Irlandia telah membubung dari 60% GDP menjadi 120% GDP. Semua negara ini telah mengalami penurunan rating surat utang yang signifikan. Pasar modal ke negara-negara ini sudah sedemikian anjloknya, tak kurang bearish sangat dalam, bahkan sampai 90% dalam kasus Yunani.
Tapi, para pesakitan ini tidak menyerah begitu saja di ajang Piala Eropa. Harapan agar Piala Eropa ini bisa menjadi penghibur dan restore confidence menjadi alasan utamanya. Meskipun tertatih di laga-laga awal, pada akhirnya kita bisa melihat Spanyol dan Italia melaju sampai final.
Niall Ferguson dan Nouriel Roubini, dua penulis dan ekonom ternama, dalam ulasannya di sebuah tulisan bersama di harian Financial Times menekankan peran Jerman dalam mencegah krisis. Dari sisi ekonomi, Jerman adalah hegemoni, baik dari sisi output ekonomi, tapi juga dari kinerja ekonomi di lain sisi. Jerman juga penangguk keuntungan terbesar dari kawasan ini.
Piala Eropa tahun ini tampaknya sulit untuk menyamai situasi tahun 2004 dan 2007 di mana Yunani dan Irak masing-masing menjadi juara Eropa dan Asia.
Buat kita, para penggemar sepak bola, ajang Piala Eropa sungguh sebuah hiburan sesaat karena apa pun hasilnya tidak akan banyak mengubah nasib kita.
Selamat menikmati pertandingan kunci di Piala Eropa, apakah Italia memang pantas menang atau Spanyol yang akan meraih sukses sekaligus membuktikan tidak ada hubungan antara krisis dan permainan cantik sepak bola. Mari kita berhitung ! (oleh:Ronald Waas/Deputi Gubernur Bank Indonesia)
Baca Berita Lainnya :