Apa pun kata orang, Inzaghi adalah mesin gol. Dari 294 laga untuk AC Milan, dia mencetak 125 gol. Pada 165 laga untuk Juventus, dia membukukan 89 gol. Dari 57 laga untuk timnas Italia, dia mengemas 25 gol. Sejumlah 70 gol dia ciptakan di semua kompetisi Eropa, hanya kalah tiga gol dari Raul Gonzalez.
Striker seperti Inzaghi memang unik. Sepanjang 90 menit, dia seperti tidak melakukan apa-apa. Namun pada satu detik ketika naluri golnya datang, lawan dibuat terpana. Dia pakar dalam melewati jebakan offside. Barangkali 12 kali terjebak offside, tetapi satu kali lolos dia bikin gol. Pippo, begitu panggilan dia, tipikal pemain yang selalu antusias di lapangan.
Lihat setiap kali terjebak offside, ekspresinya akan tampak seperti kehilangan cincin kawin. Namun dia akan merayakan gol dengan emosional, tak peduli model gol seperti apa yang diciptakan. Ingat saat final Liga Champions 2007 di Athena. Inzaghi “hanya” menyenggol tendangan bebas Andrea Pirlo hingga bola membobol gawang Liverpool yang dikawal Pepe Reina. Namun selebrasinya seperti Maradona baru saja menjebol gawang Inggris di Piala Dunia 1986.
Ditanya kunci sukses, Pippo menyebut tiga hal : naluri mencetak gol tinggi, kemampuan berada dalam posisi dan waktu yang tepat, serta kecerdasan menghindari tertangkap offside. ”Saya hidup untuk mencetak gol,” ujarnya dalam wawancara dengan majalah FourFourTwo.
Seperti gangster dalam kelompok mafia, Pippo adalah “pembunuh” berdarah dingin. Pippo adalah predator kotak penalti yang tugasnya hanya satu : mencocor bola ke gawang lawan. Model seperti ini biasa disebut poacher. Sayang, Pippo kini adalah simbol punahnya tipikal seorang tukang cocor bola.
Saat ini sulit membayangkan keberadaan striker dengan tipikal Pippo. Sepak bola sekarang menekankan pergerakan konstan seluruh anggota tim. Krusial bagi setiap pemain untuk sesegera mungkin menutup ruang gerak lawan. Saat bola hilang, semua pemain berusaha merebut kembali bola. Sepak bola modern tidak menoleransi keberadaan pemain yang seperti makhluk alien di wilayah sendiri. Padahal striker seperti Pippo adalah alien di wilayah pertahanan sendiri.
Sulit dibayangkan saat ini ada striker yang kerjaannya hanya nongkrong di kotak penalti lawan. Sepak bola sekarang butuh striker dengan kemampuan tekel di garis tim paling atas. Striker itu juga harus berani turun ke kotak penalti sendiri membantu pertahanan. Dia perlu belajar menggiring bola, harus pintar mengumpan, serta lebih banyak terlibat build-up permainan. Tipikal striker seperti ini disebut all rounders (serbabisa). Contoh paling pas adalah Didier Drogba.
Dengan tinggi 189 cm dan badan kekar, Drogba menyajikan fisik yang tangguh untuk duel. Dia penuh tenaga, eksplosif, lapar dan pekerja keras. Dia bisa mencetak gol lewat tendangan dari jarak jauh, bisa sprint menyambut umpan terobosan, kuat pula dalam duel udara. Dia juga eksekutor tendangan bebas yang mumpuni. Mantan pelatihnya di Chelsea, Jose Mourinho, memuji Drogba setengah mati.
“Didier Drogba lebih dari sekadar pencetak gol. Kalaupun tidak mencetak gol, dia memberi kontribusi penting. Dia model pemain yang harus selalu saya mainkan,” kata Mourinho kepada majalah Champions.
Dulu pada formasi 4-4-2, keberadaan poacher masih sangat dibutuhkan. Biasanya dua striker adalah kombinasi antara penyedia dan penyelesai, misalnya saja Raul dan Fernando Morientes, Bebeto dan Romario, Teddy Sheringham dan Alan Shearer. Ketika banyak tim mengadopsi 4-3-3 atau 4-2-3-1, posisi striker di pucuk paling atas formasi diharapkan sosok yang kuat, aktif bergerak dan mudah bertukar posisi.
Selain Drogba, model seperti Zlatan Ibrahimovic, Robin van Persie atau Sergio Aguero akan banyak diburu. Sebaliknya, model seperti Pippo akan semakin sukar dicari. (Titis Widyatmoko)