Setidaknya ada tiga alasan mengapa Chelsea menjadi klub paling fenomenal.
Pertama, tentu karena klub milik taipan Roman Abramovich ini berhasil menjuarai Liga Champions 2011/2012, arena perebutan trofi antar klub paling bergengsi di Eropa (bahkan dunia).
Kedua, di tingkat lokal, meskipun gagal merebut takhta paling bergengsi di Inggris, Liga Primer, Chelsea tetap masih berjaya dengan trofi Piala FA. Di final piala salah satu liga domestik ini, The Blues mengandaskan ambisi Liverpool yang ingin mengawinkan Piala FA dengan Piala Carling di musim ini. Karena jika dua trofi ini berhasil diraih, keterpurukan The Reds di Liga Primer akan terobati. Faktanya, di Stadion Wembley, tempat Liverpool mengalahkan Cardiff City dalam laga final Piala Liga, Chelsea menundukkan Liverpool dengan skor 2-1.
Ketiga, yang tidak kalah menarik, kebangkitan Chelsea justru terjadi pada saat ditangani Roberto di Matteo, asisten pelatih yang naik takhta menjadi caretaker karena pelatih yang sesungguhnya, Andre Villas-Boas, dipecat sejak 4 Maret 2012, terutama disebabkan memburuknya prestasi Chelsea di Liga Primer. Bahkan sampai laga ini berakhir, Chelsea hanya mampu menduduki urutan keenam, posisi terburuk di liga dalam satu dekade terakhir.
JALAN TERJAL CHELSEA
Perjalanan Chelsea menuju final Liga Champions di musim ini benar-benar melalui jalan terjal yang sangat berat. Memasuki babak 16 besar, setelah di leg pertama kalah 1-3 dari Napoli, banyak kalangan memprediksi perjalanan Chelsea akan berakhir, apalagi tiga klub perwakilan Inggris lainnya yang lebih perkasa di Liga Primer, yakni Manchester City, Manchester United dan Arsenal sudah lebih dulu tersingkir.
Tapi, justru karena satu-satunya tim Inggris yang masih bertahan inilah yang menjadi motivasi kuat Chelsea untuk lolos pada babak berikutnya (perempat final). Dengan kegigihan luar biasa, Chelsea berhasil menundukkan Napoli dengan skor 4-1 (agregat 5-4) melalui perpanjangan waktu.
Lolos dari lubang jarum di babak 16 besar, memasuki babak perempat final, Chelsea menghadapi salah satu tim terkuat Portugal asal kota Lisbon, Benfica. Seperti menghadapi Napoli, saat menghadapi pemenang 2 kali Liga Champions dan 31 kali Liga Portugal ini, Chelsea diprediksi akan kalah. Tapi nyatanya, pada leg pertama Chelsea menang 1-0 dan leg kedua menang 2-1 (agregat 3-1).
Perjuangan terberat Chelsea, di babak semifinal harus menghadapi Barcelona alias Barca, raksasa Spanyol dengan segudang prestasi. Sebagai pemegang trofi juara dunia antarklub tahun 2011 dan juara bertahan Liga Champions, boleh dikatakan El Azulgrana merupakan tim terbaik di dunia saat ini. Namun, justru karena status juara bertahan itulah yang menjadi kelemahan Barca karena dalam sejarah Liga Champions ada semacam kutukan juara bertahan.
Meskipun Pelatih Josep ”Pep” Guardiola sempat merisaukan soal kutukan itu, ia sama sekali tak menduga akan kalah di tangan Chelsea yang tak ada apa-apanya dibanding Barca yang antara lain pernah 4 kali mengangkat trofi Liga Champions, 4 kali Piala UEFA, 4 kali Piala Super Eropa, 4 kali Piala Winners, 21 kali Liga Spanyol dan prestasi-prestasi lainnya.
Tapi apa yang terjadi ? Dalam permainan yang nyaris tak berkutik dengan penguasaan bola hanya sekitar 30%, Chelsea berhasil menundukkan raksasa Spanyol itu dengan agregat 3-2, 1-0 di leg pertama dan 2-2 di leg kedua.
Yang sangat ajaib, pada leg kedua, Chelsea sempat terpuruk, tertinggal di awal ditambah tragedi kartu merah yang diterima kapten John Terry. Artinya Chelsea berhasil menundukkan Barcelona hanya dengan sepuluh pemain dan tanpa kapten. Luar biasa !
Di final, Chelsea berhadapan dengan salah satu klub terbaik Jerman pemegang 4 kali trofi Liga Champions, Bayern Munchen, yang dalam semifinal berhasil menundukkan Real Madrid alias Los Blancos, raksasa Spanyol, pemegang 9 kali trofi Liga Champions dan musuh bebuyutan Barcelona.
Dan lagi-lagi, di luar dugaan banyak kalangan, Chelsea berhasil memenangkan pertandingan meskipun dengan penguasaan bola yang lebih minim dan kalah terlebih dahulu dari lawan.
PELAJARAN PENTING DARI CHELSEA
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari perjalanan terjal Chelsea meraih piala liga paling bergengsi di Eropa (bahkan dunia) ? Yang paling pokok bahwa sepak bola merupakan permainan penuh taktik, strategi, teka-teki, kejutan, juga keberuntungan.
Kemenangan Chelsea, terutama atas Barcelona, hanya dengan sepuluh pemain, tanpa kapten dan penguasaan bola yang sangat minim, sungguh sulit diterima akal sehat. Ada yang berpendapat, kemenangan itu tak lepas dari strategi bertahan Di Mattio yang memarkir bus di depan gawang Chelsea seraya mencuri-curi kesempatan untuk menyerang balik lawan.
Namun, faktor keberuntungan juga tak bisa disangkal karena dalam laga yang sangat menegangkan itu, tendangan penalti pemain terbaik dunia pemegang tiga kali Ballon d’Or, Leonel Messi pun hanya membentur mistar gawang Petr Cech.
Pun pula kemenangan Chelsea di Allianz Arena yang dianggap sebagai kandang kebanggaan dan penentu kemenangan bagi Bayern Munchen, selain karena strategi bertahan yang gemilang, juga karena faktor yang muskil. Kegagalan tendangan penalti Arjen Robben dan kekalahan skor melalui adu tendangan penalti, apakah juga dianggap sebagai faktor keberuntungan ? Sekali lagi, ini yang sulit diterima akal sehat. Apakah mungkin Chelsea menerima keberuntungan berkali-kali ?
Apa pun faktor yang menyebabkan kemenangan Chelsea, pelajaran penting lain yang dapat kita petik adalah bahwa tak ada yang tidak mungkin dalam sepak bola. Klub-klub yang dianggap remeh, dengan prestasi tengah terpuruk pun bisa mengalahkan klub yang tengah jemawa dengan trofi-trofi kebanggaannya.
Catatan Bola Jeffrie Geovanie (Politisi Partai NASDEM)