Sukses atau tidaknya FFP tergantung siapa yang nanti mengangkat gelar di Allianz Arena. Jika Bayern Munchen berjaya, UEFA bisa leluasa menerapkan peraturan itu. Tapi, bila yang terjadi sebaliknya, organisasi pimpinan Michel Platini itu bukan tidak mungkin akan diminta untuk membatalkan.
Pertandingan itu mempertemukan dua tim yang memiliki perbedaan pendekatan dalam penanganan ekonomi dan keuangan. Bayern Munchen relatif lebih mengusung kesederhanaan, sedangkan Chelsea berlandaskan kemewahan. Sejak dibeli Roman Abramovich sembilan tahun lalu, Chelsea menjelma menjadi tim jet set.
Penguasa minyak asal Rusia itu telah mengeluarkan banyak uang untuk merevitalisasi The Blues. Lebih dari 100 juta pounds atau sekitar 1,468 triliun (kurs Rp14.683) dihabiskan untuk mendatangkan pemain sekelas Didier Drogba, Ashley Cole, Petr Cech, Fernando Torres, termasuk Andriy Shevchenko. Jika ditotal, Abramovich sudah menghabiskan sedikitnya 700 juta pounds atau sekitar Rp 10,2 triliun untuk mengembangkan Chelsea.
Maklum, selain membeli pemain mahal, sang juragan juga bersedia melunasi semua utang klub. Sebagai gantinya, Abramovich mendapat tiga gelar Liga Primer, empat Piala FA dan dua kali merasakan final Liga Champions.
Itu sebabnya, akan menjadi bencana bagi UEFA jika Chelsea tampil sebagai juara. Itu membuktikan bahwa uang bisa membeli gelar. Ini bisa berakibat keengganan klub-klub Eropa melaksanakan FFP.
“Cukup menyenangkan jika ada seseorang yang membayar semuanya selama Anda berkompetisi. Tapi bagi kami, jauh lebih memuaskan jika memenangkan Liga Champions dengan bekerja keras dan menghasilkan uang sendiri,” ucap Ketua Umum Bayern Munchen Uli Hoeness, dikutip businessweek.
Keresahan UEFA bisa dimaklumi. Pasalnya, FFP baru saja mendapat pukulan telak lantaran Manchester City (Man City) berhasil menjuarai Liga Primer untuk pertama kali dalam 44 tahun. The Citizens, julukan Man City, mengakhiri penderitaannya setelah menerima kucuran total hingga 400 juta pounds dari Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan sejak 2008.
Sheikh Mansour telah menunjukkan pada dunia sepakbola, untuk merebut gelar juara tidak sepenuhnya tergantung pengalaman atau kekuatan mental tim, juga dipengaruhi kekuatan finansial.
“Kami selalu memegang teguh filosofi untuk tidak mengeluarkan uang melebihi pemasukan,” tutur Ketua Eksekutif Bayern Munchen, Karl-Heinz Rummenigge.
Lain ceritanya jika Bayern Munchen berpesta di depan pendukung sendiri. Itu akan menunjukkan bahwa uang bukanlah faktor utama meraih gelar juara, melainkan kerja keras. FC Hollywood bisa dijadikan contoh bahwa manajemen keuangan yang bagus bisa berbuah hasil memuaskan.
Bayern Munchen tercatat sebagai klub yang neraca keuangannya paling sehat di antara klub-klub di Benua Biru lainnya. Bagusnya sistem finansial memungkinkan mereka terhindar dari kerugian selama 19 musim beruntun. Mereka bahkan membukukan penjualan hingga 350 juta euro atau sekitar Rp 4,1 triliun (kurs Rp11.761) sepanjang musim ini. Itu menghasilkan keuntungan 20 juta euro atau Rp 235,2 miliar lebih tinggi dari sebelumnya.
Tidak dipungkiri nilai pemasukan Bayern Munchen setiap musimnya cukup tertinggal ketimbang Chelsea dan Man City. Meski demikian, keuntungan bersih mereka jauh meninggalkan keduanya. Itu lantaran Bayern Munchen hanya mengeluarkan uang sesuai kebutuhan.
Faktanya, walau Bayern Munchen cukup aktif di bursa transfer, dana yang dikeluarkan tidak terlalu tinggi. Mereka hanya merogoh sekitar 102,8 juta euro atau sekitar Rp 1,2 triliun selama tiga musim terakhir. Bandingkan dengan Man City atau Chelsea yang menggelontorkan lebih dari 200 juta pounds atau sekitar 2,936 triliun pada periode yang sama.
Hebatnya, walau memberlakukan penghematan, Bayern Munchen tetap mencatat prestasi bagus. Terbukti mereka telah empat kali memenangkan Bundesliga, merebut empat gelar DFB-Pokal, dua titel DFB-Pokal, satu Trofi DFL-Supercup dan sekali jadi finalis Liga Champions terhitung sejak 2003/2004 waktu di mana Abramovich datang membeli Chelsea.
Baca Juga : ● Prediksi Bayern Munchen vs Chelsea- Final Liga Champions 2012
Baca Berita Lainnya :